Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah
penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas
yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri
dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis kronik
adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal
3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya 2 tahun berturut-turut, tidak
disebabkan penyakit lain. Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai
kerusakan dinding alveoli (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia/ PDPI, 2003).
Faktor Resiko (Asdie, 2000; Mukono, 2003; PDPI, 2003; Rab, 2010; Ringel, 2012)
·
Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting,
jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Penelitian eksperimental
menunjukkan bahwa merokok dengan jangka waktu yang lama akan mengganggu
pergerakan silia, menghambat fungsi makrofag alveolar dan akhirnya menyebabkan
hipertrofi dan hyperplasia kelenjar pengsekresi mukus. Pajanan yang masif akan
menimbulkan perubahan emfisematus. Disamping efek kronik ini, kemungkinan rokok
akan menghambat antiprotease dan menyebabkan leukosit polimorfonukleus melepas
enzim proteolitik secara tiba-tiba. Menghirup asap rokok dapat menghasilkan
peningkatan resistensi jalan napas secara tiba-tiba. Hal ini akan merangsang
reseptor iritan submukosa, sehingga akan mengakibatkan konstriksi dari otot
polos melalui saraf vagus.
·
Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja. Bronkitis
kronik lebih sering ditemukan pada pekerja yang sering terpapar debu anorganik,
organik atau terhadap gas beracun.
·
Riwayat infeksi saluran napas
bawah berulang.
·
Defisiensi antitripsin alfa - 1,
umumnya jarang terdapat di Indonesia.
·
Beberapa faktor lain, yakni pada
pasien pria lebih banyak menderita PPOK dari pada wanita. Pada status ekonomi
yang rendah kemungkinan untuk mendapatkan PPOK lebih tinggi. Semakin tinggi
tingkat sosial ekonomi dan pendidikan seseorang, maka semakin menurun frekuensi
merokoknya. Bertambahnya usia juga kemungkinan untuk mendapatkan PPOK lebih
tinggi. PPOK terutama merupakan penyakit setengah baya dan lanjut usia.
Patofisiologi
Unsur
patofisiologi yang utama pada PPOK adalah gangguan aliran udara yang progresif
yang dapat menjurus ke kegagalan pernapasan. Dua unsur penyebab yang saling
berkaitan adalah hilangnya kepegasan (loss of recoil) serta peningkatan
tahanan saluran napas kecil (Alsagaff dan Mukty, 2009).
Pada bronkitis
kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel goblet,
inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis.
Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal,
disertai kerusakan dinding alveoli. Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat
ireversibel dan terjadi karena perubahan struktural pada saluran napas kecil
yaitu: inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos
penyebab utama obstruksi jalan napas (PDPI, 2003).
Klasifikasi
PPOK
Gejala
Gejala pada
derajat I ditandai dengan batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak
sering. Pada derajat II pasien mulai sesak saat beraktivitas dan kadang
ditemukan gejala batuk dan produksi sputum. Gejala pada derajat III sesak lebih berat, terjadi penurunan aktivitas,
rasa lelah dan serangan eksaserbasi semakin sering dan berdampak pada kualitas
hidup pasien. Sedangkan pada derajat IV terjadi gagal napas atau gagal jantung
kanan dan ketergantungan oksigen ditambah dengan gejala pada stadium III (PDPI,
2010).
Pemeriksaan
Penunjang (PDPI, 2003; Alsagaff dan Mukty, 2009; GOLD, 2010; Rab, 2010; Ringel,
2012)
·
Pemeriksaan rutin
o Faal paru
–
Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi,
KVP, VEP1/KVP)
ü
Digunakan untuk pengobatan dan
diagnosis.
ü
Obstruksi ditentukan oleh nilai
VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1
prediksi) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %.
ü
VEP1 merupakan parameter yang
paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan
penyakit.
ü
Apabila spirometri tidak tersedia
atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai
sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak
lebih dari 20%.
o Uji bronkodilator
–
Dilakukan dengan menggunakan
spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter. Setelah pemberian bronkodilator
inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai
VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml.
–
Uji bronkodilator dilakukan pada
PPOK stabil.
o
Darah rutin (Hb, Ht, leukosit)
Eritrositosit sekunder yang didapatkan dari kadar hemoglobin dan hematokrit yang mencerminkan keadaan hipoksemia kronik. Pemeriksaan ini juga
mungkin dapat mengidentifikasi adanya polisitemia (Ht > 55%). Polisitemia
dapat berkembang menjadi hipoksemia, terutama pada perokok. Pemeriksaan leukosit biasanya tidak
informatif.
o Radiologi
Foto toraks PA dan lateral
berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pada emfisema terlihat gambaran
:
–
Gambaran pembuluh darah paru
mengalami penipisan atau menghilang.
–
Hiperlusen
–
Ruang retrosternal melebar
–
Diafragma mendatar
Pada bronkitis kronik :
–
Normal
–
Corakan bronkovaskuler bertambah